Jarum jam bergerak tepat di angka 12.35. Waktu yang pas untuk ‘tarik nafas’ dan ‘memulihkan energi yang sempat terkuras’. Maklum, sejak pukul 07.15, kami, para staf pengajar begitu serius berbagi ilmu dengan peserta didik di ruang kelas.
Karena itu, lunch time menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Itu adalah kesempatan emas untuk ‘melepas penat’ dan saling berbagi cerita. Senyum dan tawa dalam setiap adegan pengisahan itu, tentu menghadirkan spirit sukacita yang luar biasa.
Ruang perpustakaan SMK Stella Maris, terutama ‘tempat baca’ siang ini, Kamis (14/11/2024) terlihat beda. Meja yang sebelumnya menjadi tempat ‘mengunyah logos’, untuk semetara berubah menjadi ‘meja santapan jasmani’.
Menu yang tersaji di meja itu sangat sederhana. Ikan kuah, sayur daung singkong yang ditumis, telur dadar, satu bungkus nasi kuning dan ditambah nasi putih. Meski tampak sederhana, tetapi karena suasananya penuh dengan rasa persaudaraan dan kekeluargaan, menu itu terasa begitu istimewa.
Itu berarti, sebetulnya bukan ‘kemewahan masakan’ yang membuat kita bahagia, tetapi ‘suasana’ yang tercipta saat itu. Pun bukan kuantitas dan variasi masakan yang jadi ukuran kita bahagia, tetapi bagaimana ‘kondisi hati’ saat mengunyah makanan itu.
Atas dasar itu, ‘meja makan’, hemat saya, bukan sekadar ‘medan mengenyangkan perut’, tetapi ruang menyadap energi batin dan menguyah vitamin jiwa yang sangat berguna bagi ‘kesehatan’ yang bersifat holistik. Di tempat itu, kita bisa ‘bersosialisasi’ dan berbagi kasih kepada sesama.
Saya sangat beruntung bisa ‘merasakan suasana bahagia yang otentik’ semacam ini. Jujur saja, menu yang kami santap kali ini, sebenarnya ‘bekal pribadi’ yang dibawa oleh dua orang ini, ibu Atik dan ibu Ledy. Namun, mereka dengan hati terbuka mengundang beberapa teman, termasuk saya yang kebetulan sedang membaca buku di ruang itu, untuk berpartisipasi dalam ‘menghabiskan’ bekal itu.
Saya kira, sikap seperti ini bisa dilihat sebagai ‘perwujudan konkret’ dari rasa sebagai ‘satu keluarga’ di lembaga ini. Kita merasakan secara bersama apa yang ada pada kita, termasuk dalam hal menikmati makanan yang kita siapkan dari rumah masing-masing.
Goresan ini, dalam kadar tertentu bisa mewakili ‘suara’ dari ibu Fera, Ibu Fira, Ibu Efi dan Ibu Rosi yang ‘turut mengambil bagian’ dalam adegan makan siang di ruang perpustakaan itu. Gestur dan tata bahasa tubuh mereka penuh dengan pesan kebahagiaan seperti yang digambarkan dalam tulisan ini.
Tergantung Perut
Kebutuhan perut, dalam perspektif teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, masuk dalam kategori ‘basic need’, yaitu kebutuhan fisiologis. Meski berada pada tangga terbawah, tetapi sebetulnya pemenuhan terhadap kebutuhan perut itu sangat menentukan untuk menggapai kebutuhan lainnya.
Hal ini selaras dengan hipotesis Maslow bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat bawah (kebutuhan fisiologis), individu akan tergerak untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat berikutnya. Pelbagai kebutuhan itu secara hierarki diurutkan sebagai berikut: “Kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri”.
Menurut Maslow, pemuasan berbagai kebutuhan tersebut didorong oleh dua kekuatan, yakni motivasi kekurangan (deficiency motivation) dan motivasi perkembangan (growth motivation).
Secara filosofis, manusia adalah makhluk serba kurang. Sadar akan factum ‘kekurangan’ itu, maka manusia berjuang keras untuk mengatasi dan melampaui kenyataan tersebut. Tetapi, pada sisi yang lain, manusia memiliki ‘naluri untuk bermutasi’. Kita selalu bergerak atau berkembang ke arah yang lebih baik.
Ketika manusia lapar, maka yang dia butuhkan adalah ‘makanan’, bukan rasa aman, kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri. Setelah rasa lapar itu terpuaskan, manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhan berikutnya. Itu berarti manusia tidak bisa eksis jika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi dengan baik. Boleh dibilang, kehidupan manusia itu bergantung pada ‘perutnya’.
Rasa aman, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri, bakal terwujud jika ‘perutnya’ tidak bermasalah. Perut yang mendapat pasokan nutrisi yang sehat, menjadi garansi untuk mengerjakan aktivitas yang lain.
Karena itu, jangan pernah ‘meremehkan atau mengabaikan’ kebutuhan perut ini. Di tengah kesibukan dalam menjalankan tugas rutin, pelayanan terhadap perut menjadi sebuah keharusan. Terlalu besar ongkosnya jika kita ‘absen’ dalam melayani perut itu. Perut yang tambun, bisa menjadi bekal tercapainya kehidupan yang makmur.
Manusia tidak hanya hidup dari kata-kata yang keluar dari mulutnya, tetapi juga makanan yang masuk dalam perutnya. Antara apa yang masuk dan apa yang keluar dari tubuh, harus berimbang. Kita tidak mungkin semangat dalam berbicara atau bersabda, jika perut menderita. Untuk itu, idealnya ‘makan dulu baru berfilsafat’ (primum vivere deinde philosophari).
Namun, tak bisa dihindari bahwa ‘perut’ juga bisa memicu aksi tidak terpuji seperti korupsi dan masuk dalam lembah prostitusi. Kendati secara kasat mata, perutnya selalu terisi, tetapi entah mengapa dia ‘tidak pernah puas’ dengan apa yang masuk dalam perutnya. Manusia tergoda untuk ‘menumpuk’ sebanyak mungkin kekayaan demi melayani ‘permintaan perut’ tersebut.
Celakanya, banyak pejabat publik, yang secara ekonomi terlihat cukup mapan, tetapi kerap terjebak dalam ‘urusan perut’ itu. Mereka berusaha mengakumulasi kapital secara instan dengan memanfaatkan ‘jabatan’ yang dipegangnya. Kisah penyalahgunaan kekuasaan untuk ‘merawat perut’, terus menghiasi pemberitaan media di tanah air. Itu berarti, ‘urusan perut’ dari para elit itu, masih jauh dari kata selesai.
Pada sisi yang lain, gara-gara ‘perut’, tidak sedikit ‘nona cantik’ yang masuk dalam lembah prostitusi. Seks menjadi komoditi primadona. Transaksi jual beli ‘komoditas seksual’ menjadi ‘opsi cepat’ agar perut tidak menderita kelaparan.
Aksi pelacuran juga terjadi dalam dunia akademik. Ada sebagian kaum cendikiawan yang tega ‘melacurkan ilmunya’ untuk melayani kekuasaan. Pengkhianatan terhadap ilmu itu dibuat tidak terlepas dari dorongan untuk memenuhi permintaan perut itu.
Tegasnya, manusia kadang ‘tergoda’ untuk menghalalkan segala cara demi melayani perutnya. Pendewaan terhadap ‘kebutuhan perut’ menyebabkan manusia menabrak nilai lain seperti kejujuran, kebaikan, kebenaran, kerja keras, tanggung jawab dan lain-lain. Perut yang tidak pernah puas, bisa menjadi sumber bencana moral.
Benar bahwa semua manusia butuh makan. Tetapi, manusia tidak hidup untuk makan, melainkan makan untuk hidup. Itu berarti makanan itu mesti didapatkan dengan cara yang benar agar ‘apa yang kita makan’ benar-benar’ mengalirkan kehidupan berlimpah.
Makanan yang diperoleh dengan cara ‘menabrak etika’, alih-alih menghadirkan daya, justru berpotensi mematikan bagi manusia. Batin kita akan menderita seumur hidup jika mengkonsumsi makanan yang ‘bermasalah secara moral’ tersebut.
Boleh jadi, sadar bahwa ‘perut yang tak terkontrol’ menghadirkan malapetaka dalam hidup spiritual, maka dalam tradisi agama-agama, puasa menjadi salah satu ‘ritual’ yang menarik. Dalam dan melalui ‘puasa’, manusia dilatih untuk ‘melawan nafsunya’ dalam memenuhi keinginan perut.
Perut yang terlalu kenyang, membuat orang malas berpikir, dan dalam level tertentu, tak peduli dengan ‘kebaikan Sang Waktu’. Ketika manusia ‘sukses mengelola perutnya’, maka peluang untuk menikmati hidup yang lebih bahagia semakin terbuka. Jadi, kebahagiaan itu, bisa juga ditentukan oleh kecakapan manusia dalam ‘mengatur perutnya’. (Silvester Joni)