Sekolah bukan sebuah pabrik mengobrak-abrik kepribadian anak sesuai selera para guru. Pedagogi negatif (proses pendidikan yang bernuansa kekerasan) berpotensi ‘merusak’ alur perkembangan personalitas siswa. Sudah saatnya, ekosistem sekolah bebas dari ‘virus kekerasan’ dalam pelbagai modus dan level.
Sekolah adalah ‘rumah belajar’ yang nyaman bagi anak. Dalam Bahasa Inggris, ada dua kata untuk mewakili obyek rumah. Pertama, house yang mengacu pada ‘bangunan fisik’. Kedua, home yang bersentuhan dengan ‘suasana yang menyenangkan’. Sebuah rumah (house) tidak dengan sendirinya menghadirkan sisi home. Situasi ‘at home’ (betah berada di rumah), sangat bergantung pada perilaku para penghuni rumah tersebut.
Demikian halnya dengan konsep sekolah sebagai ‘rumah yang nyaman’ bagi anak. Deretan bangunan megah dan lingkungan yang luas (aspek house) tidak serta merta membuat anak merasa ‘at home’. Butuh sebuah perjuangan atau lebih tepat ‘pertobatan perilaku’ agar suasana di lingkungan sekolah benar-benar menjadi rumah yang ramah anak.
Itu berarti pola interaksi dan komunikasi dalam proses pembelajaran dan ‘pembentukan karakter’, mesti bersifat manusiawi. Pola atau metode yang cenderung mengarah ke kekerasan dalam pelbagai bentuk, harus dihindari. Selain itu, pola relasi antara sesama siswa pun mesti memperhatikan unsur manusiawi juga. Tindakan kekerasan yang salah satunya terekspresi dalam bentuk perundungan (bullying), harus bisa dihindari.
Sejak tahun 2020, SMK Stella Maris telah ‘lolos seleksi’ sebagai salah satu SMK Pusat Keunggulan (Center of Excellence). Sedangkan pada tahun 2021, lembaga ini sudah dinyatakan siap menjadi salah satu SMK Penggerak di Manggarai Barat (Mabar).
Salah satu hal yang mendapat sorotan dalam pengimplementasian statusnya sebagai SMK Pusat Keunggulan (PK) dan Sekolah Penggerak adalah ‘suasana sekolah yang ramah anak’. Bentuk konkret dari idealisme ‘sekolah ramah anak’ itu adalah gerakan anti-perundungan. Segala bentuk kekerasan, termasuk tindakan perundungan harus dihilangkan.
Sebetulnya inisiatif untuk ‘membebaskan sekolah ini dari pelbagai bentuk perundungan’, bukan dilatari oleh perubahan status di atas, tetapi semata-mata berbasis pada kenyataan bahwa kekerasan dalam pelbagai bentuknya berdampak buruk bagi anak yang berujung pada penurunan prestasi akademik di lembaga tersebut.
Bayangkan saja, jika mayoritas siswa di sekolah ini pernah menjadi korban dan pelaku perundungan, maka kondisi semacam itu sangat tidak ideal bagi terwujudnya proses komunikasi dan interaksi yang bersifat produktif dan kreatif di sini.
Dengan demikian, SMK ini tak punya cukup modal untuk menjabarkan apa yang menjadi inti dari program Sekolah Penggerak dan Pusat Keunggulan itu. Mengapa? Boleh jadi, sebagian energinya ‘tergerus’ untuk mengatasi ‘tantangan internal’ di mana budaya kekerasan masih dominan. Tetapi, rasanya persoalan semacam itu jarang terjadi di SMK Stella Maris.
Kendati demikian, lembaga ini tetap ‘mawas diri’ agar tampil sebagai sekolah yang berada pada garda terdepan untuk ‘menghalau setiap perilaku kekerasan’ di dalam komunitas sekolah. Untuk memperkuat komitmen itu, seingat saya, Sabtu (16/10/2020) semua guru di sekolah ini mengadakan ‘workshop penyusunan program sekolah anti perundungan dan kekerasan’.
Kegiatan itu didesain dalam bentuk ‘seminar’ yang menghadirkan pembicara dari aktivis LSM, Praktisi Peduli Isu kemanusiaan, Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, dan perwakilan guru Bimbingan dan Konseling (BK) SMK Stella Maris. Pro dan kontra soal penerapan metode kekerasan dalam ‘mendidik atau mendisiplinkan siswa, tak terhindarkan dalam sesi diskusi.
Meski begitu, pada akhirnya, semua peserta mengakui bahwa cara-cara kekerasan dalam mendidik anak itu, bersifat kontraproduktif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan perkataan lain, kekerasan itu berdampak buruk bagi anak. Para pemateri membeberkan sejumlah efek negatif ketika anak menjadi korban dan pelaku kekerasan, termasuk aksi perundungan.
Selain workshop, dalam pelbagai kesempatan diskusi, baik secara formal, maupun tidak resmi, isu kekerasan terhadap anak ini terus disinggung. Dalam aneka perbincangan itu, para guru sadar bahwa metode kekerasan tidak boleh’ menjadi pilihan utama dalam mendidik anak.
Anak juga manusia. Penggunaan cara-cara kekerasan dalam ‘mendisiplinkan anak’, bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian terhadap status anak sebagai manusia utuh. Memukul, mencubit, menampar, mengejek, mengolok, memfitnah dan berbagai kekerasan verbal lainnya merupakan contoh konkret bagaimana tindakan perendahan terhadap martabat anak diperlihatkan secara vulgar.
Filsuf Yunani klasik, Aristoteles menegaskan bahwa manusia jika dididik dalam lingkungan yang buruk dan dengan cara yang tidak manusiawi, maka dia menjadi ‘binatang terjelek’. Pesannya adalah upaya ‘memanusiakan manusia’ (pendidikan) tidak boleh dilakukan dalam lingkungan yang menghidupkan kultur kekerasan. Alih-alih menjadi manusia, justru seorang anak berpotensi menjadi ‘binatang terjelek’ ketika dididik dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Khusus untuk tindakan bullying, para siswa di satu sisi bisa tampil sebagai pelaku, bisa juga sebagai saksi dan korban. Secara sederhana perundungan dimengerti sebagai tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk ‘menyakiti’ secara fisik, verbal, emosional, dan psikologis oleh seseorang terhadap seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang.
Sisi agresivitas dieksploitasi secara berlebihan untuk menyakiti perasaan orang lain. Ketakberdayaan korban dilihat sebagai kesempatan untuk meruntuhkan pertahanan fisik dan psikisnya. Kondisi semacam ini, sudah pasti menghadirkan perasaan traumatis dan luka bagi korban.
Tindakan perundungan itu tidak terjadi di tempat yang sunyi, tanpa disaksikan oleh kawan yang lain. Itu berarti tindakan perundungan itu tidak hanya antara pelaku dan korban, tetapi juga melibatkan pelaku. Kita tahu bahwa dampak dari aksi perundungan itu akan menyasar ke pelaku, korban, dan saksi.
Sebagai korban, seseorang akan mengalami perasaan takut, runtuhnya rasa percaya diri, dan kesulitan untuk berkembang. Untuk pelaku, aksi perundungan itu akan berpotensi ke tindakan kriminal. Dengan rumusan lain, pelaku perundungan besar kemungkinan menjadi pelaku tindak kejahatan di masa yang akan datang. Sedangkan sebagai saksi, aksi perundungan itu akan membawa efek tekanan psikologis yang berat, takut menjadi bagian dari korban, dan bisa menurunkan prestasi.
Jadi, sekarang kita mendapat pasokan pengetahuan yang kredibel bahwa aksi perundungan itu ‘sangat berbahaya dan merugikan para siswa itu sendiri’. Siswa yang dibesarkan dalam ekosistem yang didominasi oleh aksi perundungan, sangat tidak ideal untuk bisa mengaktualisasikan potensinya menjadi manusia yang berprestasi dan berkualitas, baik secara intelektual maupun secara praktis.
Karena itu, tawaran program untuk ‘meniadakan atau menghentikan aksi perundungan di sekolah’ oleh para guru BK SMK Stella Maris dalam kegiatan workshop itu, patut diapresiasi. Menariknya, program yang populer disebut “Roots” itu akan memaksimalkan potensi positif yang dimiliki siswa sendiri.
Tim BK akan merekrut beberapa siswa yang dianggap punya kepribadian yang baik untuk menjadi ‘agen perubahan’ di sekolah. Mereka menjadi semacam duta anti perundungan yang setia dan penuh semangat menyebarkan perilaku positif kepada sesamanya dalam kelas atau kelompok sebaya.
Meski begitu, saya berpikir, para guru tetap menjadi ‘aktor kunci’ untuk memberikan pemahaman yang utuh soal esensi dan dampak dari perundungan serta memberikan teladan hidup yang konkret di mana sisi kekerasan dan perundungan ‘tak lagi tampak’ di sekolah.
Keberhasilan seorang anak, sangat bergantung pada apa yang mereka buat dan timba baik dari guru maupun dari orang tua. Saya teringat sebuah nasihat biblis berikut: “Siapa menabur angin, dia menuai badai”. Siapa menabur benih kekerasan dalam diri siswa, maka kita akan menuai ‘badai kejahatan’ di masa depan. Karena itu, mari tabur benih pendidikan yang baik dan humanis kepada anak-anak kita saat ini, agar kelak kita bisa ‘memanen’ generasi yang cerdas dan unggul.
Mampukah SMK ini ‘mempertahankan’ idealismenya sebagai sekolah yang ‘ramah anak’? Hanya ‘waktu’ yang bisa menjawab pertanyaan ini. Berharap energi para guru tak surut dalam merawat tradisi prasksis pendidikan yang yang ‘nir-kekerasan’. Selamat tinggal kekerasan, why not? (Sil Joni)