Apa yang membedakan antara pelajar (SMK) dengan masyarakat (awam) yang umumnya buta dan lupa huruf? Jawabannya adalah budaya baca-tulis (literasi). Aktivitas utama seorang pelajar adalah membaca, berdiskusi (akademik), refleksi dan menulis. Boleh dibilang literasi menjadi penanda (mode of being) keberadaannya sebagai pelajar.
Membaca dan menulis merupakan bagian yang inheren (tak terpisahkan) dari statusnya sebagai seorang pelajar. Jangan pernah membuat pendakuan (klaim) bahwa ‘saya seorang pelajar’ jika faktanya jarang dan bahkan tidak pernah terlibat dalam kegiatan literasi. Seseorang disebut ‘pelajar’ jika dan hanya jika dia menulis. Orang Latin bilang: “Scribo ergo sum (Saya menulis maka saya ada).”
Tulisan ini bertujuan ‘memprovokasi’ para pelajar untuk menggauli kegiatan menulis secara aktif dan reguler. Para pelajar diharapkan ‘jatuh cinta’ dengan sosok literasi itu. Membaca dan menulis mesti menjadi ‘kebutuhan dasar (basic need) dalam hidup keseharian mereka.
Mengapa Menulis?
Menulis itu bukan kegiatan ‘membunuh waktu’ yang nir-arti. Dalam dan melalui menulis, kita merasakan efek positif yang tentu saja berguna baik bagi perkembangan kepribadian (dimensi individual) maupun perbaikan kulitas peradaban (dimensi sosial).
Dari berbagai literatur, kita mengetahui sejumlah alasan elementer ‘mengapa kita perlu menulis’? Pertama, mengahadirkan ‘kesenangan intelektual’. Kita tahu bahwa otak adalah organ inti manusia, pusat kontrol segala tindak-tanduk manusia. Ketika kita ‘berhasil memproduksi’ sebuah tulisan sederhana, pasti timbul rasa legah dan puas, apalagi kalau tulisan itu ‘dikonsumsi’ oleh banyak orang.
Kedua, mengabadikan waktu. Peribahasa ini: “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”, sangat pas untuk menjelaskan sisi keabadian dari tulisan. Dalam dan melalui tulisan, ide atau pikiran kita tetap hidup selamanya. Tubuh boleh lenyap, tetapi ‘anak rohani’ (karya tulis) tetap awet.
Ketiga, mengikat ingatan dan pengetahuan. Menulis bisa juga dilihat sebagai cara mengikat ingatan dan pengetahuan. Para peneliti mengungkapkan bahwa otak mampu menyimpan sekitar tuju ingatan jangka pendek sekaligus hanya dalam waktu 20-30 detik. Betapa waktu yang sangat singkat jika ide itu masuk dalam kategori brilian yang dapat mengubah tataran dunia saat ini. Sebuah kerugian jika ‘ide, konsep, pikiran dan pengetahuan’ yang bermutu itu ‘lenyap begitu saja dalam waktu yang relatif singkat.
Keempat, sarana terapi. Ada banyak ‘testimoni’ perihal efek terapis ini. Pelbagai emosi negatif dan kemelut hidup yang mendera, bisa diolah dan dilepaskan melalui kegiatan menulis. Energi batin yang lelah bisa menjadi segar dan pulih kembali ketika kita secara serius menggauli aktivitas menulis ini.
Kelima, menyeimbangkan fungsi kinerja otak. Menulis dengan tangan akan membantu mengasah kemampuan kognitif pada otak. Goresan yang dibuat oleh tangan, mampu melatih sensor motorik seseorang. Dr. Marc Seifer, seorang ahli grafologi dan ahli tulisan tangan bahkan mengatakan bahwa menulis dapat menenangkan otak dan membuat kita lebih fokus.
Keenam, mengurangi risiko demensia. Sama seperti organ tubuh lainnya, otak juga berkembang seiring dengan seberapa sering ia digunakan. Ketika otak dilibatkan dalam proses menulis (berpikir), sel-sel neuron dalam otak akan saling tersambung dan hidup sehingga mengurangi risiko kepikunan. Pada usia tua, otak yang kelelahan karena jarang diasah juga dapat mengerut dan kehilangan fungsi mengingat. Penyakit ini dikenal dengan sebutan demensia.
Ketujuh, tanda seseorang berpendidikan. Dari sekian alasan sebelumnya, alasan ini terlihat memiliki nilai prestius yang tinggi. Menulis tentu melibatkan proses berpikir pada otak. Seseorang yang tidak terbiasa mengasah otak hanya akan melakukan hal-hal rutin tanpa melibatkan proses berpikir kreatif. Wajar saja jika kegiatan menulis dikaitkan dengan tingkat pendidikan.
Kedelapan, bisa menjadi sumber penghasilan. Ada banyak yang meniti karier sebagai penulis profesional. Mereka bisa menjadi kaya dari ‘honor tulisan’ yang mereka dapat. Sebagai contoh, tulisan biografi yang bisa menghasilkan ratusan juta rupiah dalam sekali pengerjaan buku. Masikah kita memandang rendah pekerjaan sebagai ‘penulis’?
Kesembilan, sarana pewartaan. Menulis juga bisa menjadi media yang efektif dalam ‘mewartakan’ kebaikan, kebenaran dan keindahan kepada sesama. Suatu ilmu tidak cukup jika hanya disiarkan melalui ceramah-ceramah langsung di depan publik. Daya memori kita sangat terbatas. Menulis menjadi instrumen ‘mengekalkan’ ingatan itu.
Menulis: Pelajar (SMK) Juga Bisa
Beberapa alasan mengapa kita perlu menulis seperti yang disinggung pada bagian sebelumnya, sebetulnya, pada level tertentu, berlaku juga untuk para pelajar (SMK). Namun, secara spesifik, menulis bagi seorang pelajar SMK dilatari oleh beberapa motivasi berikut.
Pertama, mengerjakan tugas-tugas akademik. Ada kesan bahwa pelajar SMK, baru mau terjun ke dunia menulis, ketika ada ‘tugas’ yang diberikan oleh guru. Itu berarti ‘tunggu ada tugas’ dulu, baru mereka ‘terpaksa’ menulis. Belum ada inisiatif yang muncul dari dalam diri soal manfaat positif dari kegiatan menulis.
Kedua, mengisi waktu senggang dan menyalurkan hobi semata. Menulis untuk seorang pelajar SMP itu hanya dilihat sebagai ‘aktivitas sampingan’ ketika ada waktu luang. Menulis belum menjadi kebutuhan.
Ketiga, cari afirmasi (pengakuan). Umumnya, pelajar SMK menulis di media sosial untuk mencari ‘pengakuan’ semata. Agar terlihat eksis, mereka menggoreskan satu dua kalimat dalam setiap postingan yang mereka unggah.
Meski demikian, kita mendapat kesan bahwa sebenarnya pelajar SMK juga ‘bisa menulis’. Mereka mempunyai kapasitas dan kapital yang cukup untuk meracik sebuah tulisan sederhana. Saya sangat optimis bahwa jika para pelajar SMK serius menekuni ‘dunia sunyi’ ini, maka mereka bisa menjadi ‘penulis hebat’ di kemudian hari.
Wadah Menulis untuk Pelajar (SMK)
Menulis itu bukan ‘bakat bawaan’ yang jatuh dari langit, melainkan buah dari ketekunan berlatih. Itu berarti menulis itu bagian dari ‘keterampilan’ yang diasah melalui latihan yang teratur. Setiap pelajar SMP, dengan demikian, memiliki potensi yang bagus untuk ‘cakap menulis’.
Untuk itu, mereka perlu ‘ditodong’ untuk coba mengoptimalkan beberapa media sederhana sebagai wadah menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan. Hemat saya, ada beberapa media yang dijadikan opsi untuk mengasah kemampuan menulis itu.
Pertama, jurnal pribadi (catatan harian atau diari). Diari bisa menjadi media paling murah bagi pelajar untuk berlatih menulis. Mereka boleh ‘menulis apa saja’ dan dengan gaya bebas di dalam diari itu. Semua kegiatan dalam sehari coba direkam dan didokumentasikan dalam bentuk tulisan ringan di dalam Buku Harian’.
Kedua, media sosial (facebook, Instagram, twitter, dll). Jika ingin tulisan itu ‘dinikmati’ oleh khalayak pembaca, para pelajar dianjurkan untuk menulis secara teratur di media social dalam pelbagai aplikasi (platform). Apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami secara langsung entah pengalaman pribadi maupun kejadian yang menimpa orang lain, bisa diceritakan secara sistematis dalam sebuah tulisan di media sosial. Jangan pernah takut dengan ‘kritik’ orang terhadap tulisan itu, baik aspek isi, gramatika, maupun stilistika (gaya).
Ketiga, majalah dinding (Mading) sekolah. Media lain yang lebih ‘bergengsi’ adalah Mading sekolah. Para pelajar bisa berekspresi secara kreatif melalui setiap tulisan yang diterbitkan dalam Mading sekolah.
Jenis (genre) dan gaya tulisan untuk pelajar SMK
Sampai di sini, kita bertanya kira-kira ‘jenis tulisan apa’ dan gaya apa yang pas untuk ukuran (kemampuan) pelajar SMK. Sebagai ‘pemula’, rasanya pelajar SMK coba berlatih menulis ‘cerita’. Mereka bisa ‘melaporkan’ sebuah peristiwa dalam gaya bertutur.
Tetapi agar tuturannya teratur, maka perlu ‘panduan’. Untuk itu, pakem penulisan jurnalistik, 5W + 1H bisa menjadi opsi. Tulisan dengan gaya bercerita itu, mesti memiliki unsur apa (what), siapa (who) kapan (when), di mana (where), mengapa (why) dan bagaimana (how).
Dengan demikian, pelajar SMK bisa menghidupkan sebuah tradisi jurnalisme pelajar di sekolah. Mereka bisa menjadi ‘reporter’ untuk pers sekolah. Semua peristiwa yang terjadi di lingkungan sekolah boleh diliput dan ditulis dalam gaya tutur tadi.
Selain itu, ketika mereka merasa ‘nyaman’ dengan gaya bercerita, maka dengan teknik yang sama, tetapi ditambah dengan ‘bumbu imajinasi’, mereka bisa ‘mengarang jenis tulisan sastrawi yaitu cerita pendek. Meski cerita itu bersifat imajinatif, tetapi setidaknya, inpirasi cerita mereka dapat dari pengalaman yang nyata.
Sekali lagi, untuk bisa ‘naik kelas’, kita tidak boleh ‘takut’ terhadap penilaian orang dan kesalahan demi kesalahan yang kita buat dalam setiap tulisan itu. Tulisan kita bakal semakin matang dan menarik ketika kita ‘sukses’ belajar dari kesalahan.
Ketika genre cerita sudah ‘dikuasai’, para pelajar SMK mulai mencoba jenis tulisan yang bersifat serius yaitu opini atau esai. Dalam tulisan opini, penulis memberikan pendapat entah pro atau kontra terhadap isu yang diangkat dan menawarkan solusi alternatif. Sebagai penulis pemula, saya kira, para pelajar SMK bisa dengan bebas ‘mengajukan pendapat (opini) terkait dengan peristiwa yang tengah disorot dalam tulisan itu.
Dengan demikian, free writing style (gaya menulis bebas) sangat cocok diterapkan oleh para pelajar. Mereka bebas menuangkan pikiran, perasaan, tanggapan atau sikap terhadap peristiwa baik yang menimpa dirinya atau orang lain. Dengan perkataan lain, ilham untuk menulis itu sangat berlimpah. Rasanya, tidak ada hal di dunia ini yang tidak bisa ditulis.
Kemauan (Keberanian) atau Komitmen Menulis
Persoalan utama kita (termasuk para pelajar SMK) bukan pada terbatasnya ‘inspirasi’ dan minimnya fasilitas dalam menulis, tetapi pada soal keberanian (kemauan) untuk menghidupkan budaya menulis itu. Stok ide jelas berkelimpahan, tetapi tak ada kemauan untuk ‘menjahit’ ide-ide yang berserakan itu dalam sebuah teks yang utuh. Motivasi untuk menulis sangat lemah.
Kita tidak punya niat (komitmen) yang kuat untuk mengasah keterampilan menulis itu. Ketiadaan waktu dan sumber bacaan, tidak bisa dijadikan alasan. Banyak waktu terbuang begitu saja dan akses terhadap bahan bacaan semakin mudah di era teknologi digital saat ini.
Jadi, untuk bisa mencapai level ‘mahir atau cakap’ dalam menulis, hal pertama yang perlu diatasi adalah ‘komitmen yang lemah’. Mengubah mind-set terkait dengan pentingnya menulis, menjadi jalan menjadi ‘penulis berbakat’. Bersamaan dengan itu, tidak ada resep khusu untuk terampil menulis, selain menulis, menulis, dan terus menulis. Segudang sisi teoretis yang kita pelajari, menjadi tidak berguna, ketika kita tidak ‘mencemplungkan’ diri dalam samudra kepenulisan itu.
Epilog Pelajar dan Literasi
Status pelajar yang melekat dalam diri anak SMP tidak ditentukan oleh seberapa rajin dia ‘ada di sekolah’ dan berapa banyak ‘pengetahuan yang dia hafal’ dari proses pembelajaran di dalam kelas, tetapi diukur dari ‘pikiran orisinal’ yang ia produksi dalam sebuah tulisan. Ketika siswa mampu ‘meramu’ sebuah isu menjadi sebuah teks tulisan yang menarik dan berbobot, maka pada saat itu kita pantas berdecak kagum ‘ini baru pelajar SMK’.
Tradisi jurnalisme pelajar seperti yang tengah dirintis oleh SMK Stella Maris ini bisa menjadi pilihan yang cerdas untuk tetap ‘mempertahankan’ citra kita sebagai manusia ‘terpelajar’. Belajar menulis dan terus belajar menulis, menjadi ciri khas kita sebagai ‘pelajar SMK’. Jadi, kalau mau disebut pelajar, mulai sekarang ‘mari aktif bergiat dalam dunia menulis’. Menulis itu sehat dan menyenangkan. Tunggu apa lagi.
Oleh: Sil Joni*