Oleh: Sil Joni*
Hari ini, Senin (18/11/2024) segenap tenaga pendidik dan kependidikan SMKS Stella Maris tampil ‘agak beda’ dari hari-hari sebelumnya. Untuk pertama kalinya, para guru dan pegawai memakai ‘busana baru’ yang dari segi mode (fashion) boleh dibilang ‘luar biasa’. Tawa dan senyum selalu terpancar dari wajah bapak dan ibu guru tersebut.
Sebuah ‘kode alamiah’ bahwa rasa bahagia menyelimuti relung hati mereka. Tidak heran jika momen itu diabadikan melalui ‘ritual pengambilan’ gambar dengan latar yang variatif dan atraktif. Sebagian dari hasil bidikan para juru foto itu, sudah beredar luas dalam ruang digital.
Ternyata, setelah mengenakan ‘kostum biru-hitam’ itu, tampilan ragawi mereka, berubah drastis. Sebagian dari mereka, bahkan tampil begitu memukau sehingga kita kesulitan apakah yang ini guru SMKS Stella Maris atau tidak. Pak Vinsensius Patno misalnya, dia lebih mirip ‘pegawai Bank’ ketimbang seorang guru setelah memakai outfit baru yang dipadu dengan ‘dasi hitam’ dan sepatu pantofel.
Sebetulnya, busana baru ini, lahir dari ‘pergulatan’ ketika diperkenankan untuk menikmati budaya industri. SMK dan dunia industri, dalam beberapa tahun terakhir telah melangsungkan ‘perkawinan’ yang tidak hanya meriah, tetapi juga bersifat kreatif dan produktif.
Karena itu, di balik ‘kostum baru’ ini, tersembul sebuah ‘spirit baru’. Apa itu? Hemat saya semangat yang dibawa dalam ‘kostum baru’ itu adalah SMK mesti menjadi ‘miniatur industri’. Dengan itu, out put SMK tidak merasa ‘asing’ dengan dunia industri setelah keluar dari lembaga kejuruan ini.
Metode kerja dan habitus yang berlaku dalam dunia industri mesti diadaptasi secara kreatif oleh pihak SMK. Jika itu terjadi, maka Dunia Industri ‘tak sungkan’ untuk memakai out put SMK dalam menghidupi usaha atau perusahaan mereka. Dengan itu, citra SMK sebagai lembaga ‘pencetak penganggur terbesar’, bisa diminimalisasi.
Pancaran Keindahan
Ketika ketahuan melanggar perintah Tuhan, tiba-tiba, Adam dan Hawa, merasa malu. Pasalnya, mereka baru ‘terjaga’, ternyata tubuh mereka telanjang. Kesadaran itu, mereka peroleh setelah ‘keluar’ dari taman Eden. Itu berarti ketika berada dalam ‘firdaus’, tubuh mereka tampak utuh dengan busana. Keadaan berbusana menjadi semacam kondisi primordial, cerminan situasi firdaus purba itu. Dengan demikian, busana sebetulnya, lebih dari sekadar kain pembungkus badan.
Seandainya manusia tanpa busana, maka mungkin itu ‘tak sepenuhnya’ manusia. Mengapa? Manusia ditarik oleh hasrat primordial untuk berada dalam firdaus. Kondisi tidak berbusana dilihat sebagai ‘aib’ yang mendatangkan bencana moral. Mengingkari kerinduan dasariah itu, identik dengan menyangkal status kemanusiaannya sendiri.
Tulisan ini sebetulnya hasil permenungan spontan ketika ‘seragam keki’ melekat pada tubuh ini untuk pertama kalinya. Saya merasa perlu untuk “mengabadikan” momen pemakaian ‘busana keki’ itu sebagai momen istimewa dalam sejarah hidup saya. Ini semacam ‘titik balik’ bagaimana saya beradaptasi dengan budaya kerja baru di sekolah dengan mengenakan busana yang langka alias tidak biasa.
Sejatinya, busana yang kita kenakan, bukan sekadar atribut ‘pembungkus tubuh’ semata. Pancaran kepribadian (sisi dalam) seseorang juga bisa terlihat dari ‘outfit’ yang dipakai. Artinya, pakaian juga merupakan ‘bagian dari cara berada (mode of being), sebagai manusia. Aku berpakaian, maka aku ada. Sulit dipikirkan seorang manusia ‘tanpa sehelai benang pun’, bisa eksis di ruang publik.
Berpakaian, dengan demikian, bukan hanya untuk tambah gaya, tetapi agar ‘sisi kemanusiaan’ itu tetap terpelihara. Tetapi, bukankah aspek gaya juga sangat dibutuhkan oleh manusia? Siapa yang tidak mau bergaya di dunia ini? Tanpa dinyatakan secara eksplisit bahwa apa yang kita tampilkan itu masuk dalam ‘kategori gaya’, dengan sendirinya unsur gaya itu melekat pada setiap orang. Gaya itu bagian hakiki yang melekat secara inheren dalam raga manusia. Hanya saja jenis, model, dan derajat gaya setiap orang itu berbeda-beda.
Dalam bergaya dengan busana apa saja, saya kira patokannya adalah keindahan dan kenyamanan. Memang sisi keindahan dan kenyamanan itu bersifat subyektif. Apa yang menurut saya indah dan nyaman, bisa jadi berbeda menurut orang lain. Tetapi, saya berpikir pelaksanaan relativisme absolut semacam itu, terlampau ekstrem yang bisa berimplikasi pada situasi yang ‘khaos’.
Oleh sebab itu, dalam sebuah komunitas atau lembaga, kita perlu menyamakan persepsi tentang keindahan dan kenyamanan itu. Setidaknya, dengan konsensus semacam itu, tidak terjadi ‘kesemrawutan’ dalam menghayati dimensi keindahan dan kenyamanan dalam berbusana.
Saya berpikir, aspek estetika dalam berbusana merupakan hal niscaya bagi seorang guru. Guru yang profesional, hemat saya tidak hanya diukur dari keseriusannya dalam menyiapkan perangkat pembelajaran dan strategi yang dipakai dalam “mengelola kelas’, tetapi juga dilihat dari penampilan fisiknya termasuk kerapian dan keindahan dalam berpakaian.
Berpenampilan yang menawan merupakan salah satu ‘pintu masuk’ bagi para siswa untuk boleh belajar bersama dengan guru. Melalui tampilan yang keren, para peserta didik ‘tertantang’ untuk mengenal dan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran di sekolah. Saya kira, guru yang berpenampilan modis, umumnya disenangi oleh peserta didik.
Meski demikian, sebetulnya intensi utama dalam memperhatikan sisi keindahan dan kerapian dalam berpakaian itu bukan saja supaya mendapat pujian dari siswa, tetapi yang paling penting adalah pembiasan atau pemantulan sinar kepribadian yang simpatik. Disenangi atau mendapat apresiasi dari orang lain, saya kira itu hanya bonus, sebagai efek logis dari berpenampilan yang baik itu.
Penyeragaman busana, hemat saya bisa dilihat sebagai pemanifestasian sisi keindahan dalam sebuah komunitas sekolah. Keseragaman itu indah. Sebagai pribadi yang mencintai keteraturan (order, kosmos), kita mesti memperhatikan sisi keseragaman yang indah ini. Itu berarti proses uniformalisasi tidak dimaksudkan untuk ‘mengekang ekspresi keindahan’, tetapi justru menyuburkan praktik berbusana yang indah itu.
Memakai pakaian seragam seperti Biru-Hitam (Seragam Yayasan?) ini, mengalirkan rasa bahagia. Mengapa? Setidaknya, saya boleh berpartisipasi dalam menumbuhkan kultur keindahan di lingkungan sekolah. Dalam dan melalui ini, kesadaran akan pentingnya merawat ‘suasana indah’ tertanam kuat dalam batin. Jadi, sebenarnya ‘busana Yayasan’ merupakan simbol bagaimana kita mesti menampilkan kerapian dan keindahan, baik dari sisi lahiriah maupun sisi batiniah.
Ketika keindahan ‘merajai hati kita’, maka profesi yang kita geluti, tentu saja menyenangkan. Jadi, jangan sungkan untuk mengenakan ‘busana Yayasan’. Busana itu tidak hanya dimiliki secara eksklusif oleh ‘para pemilik Yayasan’, tetapi juga setiap anggota komunitas yang punya kehendak baik untuk mewujudkan keindahan dalam hidup ini.
Apakah pemakaian busana Biru-Hitam itu bisa mendongkrak mutu performa seorang guru? Apakah ada korelasi yang tegas antara ‘busana Keki’ dan kualitas implementasi profesionalisme seseorang? Saya kira tidak ada jawaban final terhadap pertanyaan ini. Saya hanya bisa berhipotesis bahwa dengan memakai kostum itu, ada tugas atau tanggung jawab besar yang melekat pada seorang guru.
Pada pundaknya, masa depan generasi bangsa akan dipertaruhkan. Untuk itu, diharapkan agar dengan memakai busana itu, guru boleh menjabarkan secara kreatif cara mendidik anak dalam suasana yang indah dan menyenangkan. Seorang guru mesti mengalirkan pupuk kebaikan secara reguler agar ‘bayi keindahan dan pengetahuan’ dalam diri siswa, bertumbuh secara normal dan pada saatnya menghasilkan buah yang berkualitas.
Dengan kesadaran semacam itu, maka ‘busana Biru-Hitam’ telah menginspirasi guru untuk ‘memberikan pelayanan pendidikan prima’ kepada peserta didik. Jika itu terlaksana, maka “Biru-Hitam” itu bukan ornamen penghias raga semata, tetapi sebagai kode pengingat dan perangsang dalam memanifestasikan spirit profesionalitas secara konsisten dalam jejaring keindahan manusiawi yang paripurna.
*Penulis adalah staf pengajar SMKS Stella Maris.