Oleh: Sil Joni*
Tidak semua ‘pekerjaan’ bisa disebut profesi. Mengapa? Secara etimologis, profesi berasal dari bahasa Latin professus (Inggris: profession) yang berarti pengakuan, mampu atau ahli dalam mengerjakan bidang tertentu. Jadi, dalam profesi ada unsur pengakuan akan tetapi kemampuan dan keahlian seseorang dalam menjalankan sesuatu.
Selain itu, dalam profesi juga terkandung ‘sebuah janji’ untuk menjalankan tugas dengan baik. Sisi pengakuan akan kapasitas dan janji melaksanakan tugas dengan baik, menjadi faktor pembeda antara profesi dan pekerjaan pada umumnya. Itu berarti, hanya pekerjaan yang menuntut ‘pengakuan dan janji’ yang masuk dalam kategori profesi.
Setelah melewati tahapan yang panjang, akhirnya negara memberi pengakuan legal bahwa guru merupakan profesi. Sebagai sebuah profesi, maka seorang guru mesti memenuhi kualifikasi ‘ahli/mampu’ dan berpegang pada ‘janji/sumpah’ dalam menjalankan tugas profesionalnya.
Isap rokok dalam kintal sekolah, hemat saya, bisa menodai ‘unsur sumpah’ yang melekat dalam profesi guru. Ketika seseorang ‘dilantik’ menjadi guru, maka dirinya mesti berkomitmen untuk menjalankan tugas sebagai guru dengan baik.
Memperlihatkan keteladanan yang baik kepada peserta didik, bisa dianggap sebagai perwujudan dari ‘janji’ yang diucapkan itu. Tidak merokok di lingkungan sekolah boleh dilihat sebagai ‘satu bentuk teladan’ kepada siswa. Kita memberi contoh bahwa sekolah bukan ‘destinasi aktivitas mengisap’, tetapi rumah di mana proses pembelajaran digelar.
Untuk urusan ‘tidak merokok’ di lingkungan sekolah, mungkin SMK Stella Maris bisa dijadikan contoh. Pasalnya, sejak lembaga ini berkolaborasi dengan SMK Mitra Industri Cikarang (Jakarta), ‘aroma budaya industri’, sangat terasa. Dunia usaha menuntut kita untuk ‘tidak merokok’ di tempat kerja.
SMK sebagai ‘miniatur dunia industri’, mesti menerapkan budaya industri itu secara konsisten. Sejak dini anak-anak dibiasakan untuk ‘merasakan dan menikmati’ suasana yang menjadi ‘nilai jual’ dunia industri. Salah satu yang disorot adalah guru tidak boleh merokok di lingkungan sekolah.
Ketika berada di area sekolah, para guru hanya ‘fokus’ menjalankan tugas-tugas profesional. Sedapat mungkin dirinya tidak tergoda untuk mengerjakan hal-hal yang bertolak belakang dengan spirit profesionalisme. Merokok, tentu saja ‘masuk’ dalam kategori tindakan yang mencederai nilai luhur dari profesi sebagai guru itu.
Memang, tidak mudah untuk ‘memenuhi’ tuntutan dunia industri itu. Tetapi, setelah ‘berpuasa’ sekian hari, akhirnya, keputusan untuk ‘tidak merokok’ itu, menjadi sebuah kebiasaan dan gaya hidup (life style). Banyak guru (perokok) di Stella Maris saat ini, sukses menjalankan komitmen untuk ‘tidak merokok’.
Tentu ada banyak perubahan (positif) ketika para guru berhasil menjalankan program ‘diet rokok’ di sekolah. Sisi somatis (ragawi) tidak mengalami gangguan. Mereka tampil lebih segar dan energik. Wajah mereka kian berminyak dan segar.
Selain itu, ruang guru khususnya dan lingkungan sekolah umumnya ‘terlihat bersih’. Apalagi, saat ini, SMK Stella Maris semakin getol mengkampanyekan budaya LISA (Lihat Sampah Ambil). Setiap warga sekolah ‘merasa tidak nyaman’ ketika melihat sampah. Ketidaknyamanan itu berimplikasi pada ‘dorongan’ untuk membereskan sampah yang dilihat itu.
Boleh jadi ‘guru perokok’ sudah insyaf bahwa ‘merokok’ bisa menyumbang sampah untuk sekolah. Ketika guru ‘berhenti isap rokok di sekolah’, maka dirinya telah ‘bertobat’. Dia tidak mau menjadi ‘donatur sampah’ lagi untuk sekolah.
Selamat dan proficiat kepada para staf pengajar SMK Stella Maris yang tak mau tunduk pada ‘keinginan daging’ (baca: hasrat mengisap rokok). Pantang merokok di kintal sekolah mesti menjadi sebuah ‘kebajikan profesional’ yang mesti dipupuk. Kita tidak bakal ‘sakit’ apalagi ‘mati’ ketika tidak merokok di lingkungan sekolah.