Guru Tidak Boleh ‘Pukul’ Siswa? (Sebuah Pergulatan)

Oleh: Sil Joni*

Para guru sedang bergulat dengan dilema pedagogis yang kompleks. Negara, melalui regulasi formal mewajibkan guru untuk “menghormati dan melindungi” martabat anak didik (para siswa). Penggunaan metode atau cara mendidik siswa yang menjurus ke tindakan kekerasan, masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM) anak. Tegasnya, pemberian sanksi fisik ‘tidak boleh’ diterapkan kepada anak/siswa.

Diskursus teoretis-akademik tentang HAM sedapat mungkin diaplikasikan dalam ranah praksis. Namun, penerapan wacana HAM di lingkungan sekolah tidak semudah dibayangkan. Ada banyak kondisi kontekstual dan kultur lokal yang membuat teori HAM bersifat problematis dan dilematis.

Tradisi pendidikan di Eropa dan Amerika yang relatif liberal-humanis, mungkin isu HAM itu tidak menemui kesulitan yang signifikan. Tetapi, tidak demikian dengan konteks pola pengasuhan dan pendidikan di lingkungan budaya yang kental dengan kultur patriarki dan feodalisme.

Saya tidak sedang “membela” guru yang terpaksa memukul siswa dalam proses formasi kepribadiannya di sekolah. Poin saya adalah guru mesti “mengambil” sikap tegas terhadap siswa yang relatif nakal dan sering berbuat ulah (onar) di sekolah, sekalipun itu bertentangan dengan teori HAM.

Kita tahu bahwa tugas guru tidak hanya mentransfer ilmu (pengajaran), tetapi juga mendidik atau mengarahkan karakter yang bersifat positif dalam diri siswa. Guru mesti cerdas “menuntun” siswa ke jalan yang benar. Berbagai pendekatan, strategi, dan metode pendidikan coba diimplementasikan secara kreatif dan progresif.

Benar bahwa siswa bukan binatang. Mereka juga manusia yang mesti dididik dalam iklim dan metode yang manusiawi. Tetapi, apakah sanksi fisik seperti mencubit, menampar, berlutut, memukul dengan lidi merupakan tindakan pengingkaran terhadap status kemanusiaan mereka? Apakah ‘salah’ jika guru menggunakan ‘alat bantu alternatif’ dalam menyadarkan siswa dari kesalahannya?

Saya kira, mayoritas generasi yang produktif saat ini, merupakan ‘buah’ dari gaya pendidikan yang ‘tegas’ itu. Hampir pasti, kita yang sudah bekerja saat ini, pernah merasakan ‘sakitnya’ hukuman fisik yang diberikan para guru. Lalu, apakah mereka yang dibentuk dalam iklim pendidikan yang ‘tegas’ itu, bersikap seperti ‘binatang buas’. Apakah mereka yang ‘pernah dipukul’ oleh guru, tidak berhasil menjadi ‘lebih manusiawi’?

Mari kita menoleh sejenak tentang “jejak” metodis yang dipakai oleh guru dalam “mendidik seorang anak manusia”. Refleksi ini membawa saya berkelana ke masa lalu. Wajah para guru SD dan SMP begitu “terang” dalam lensa permenungan ini.

Kepribadian saya sebagiannya “terformat” dalam iklim pendidikan yang bersifat asertif (tegas dan keras). Pola pengasuhan dan pembinaan yang bersifat otoriter dan represif begitu dipuja saat itu. Memukul, menjewer, menendang, mencubit, berlutut, menghina (mengolok) menjadi hal lumrah dan diterima begitu saja.

Asumsi yang melatari penggunaan “metode kekerasan” itu adalah anak “harus diformat” sesuai selera guru. Filosofi yang dipegang adalah ada emas di ujung rotan. Hukuman fisik itu dianggap “sarana” mengalirkan “emas kebaikan” kepada siswa.

Karena itu, hemat saya ‘pola pendidikan’ yang tegas itu, tidak seluruhnya dihapus dalam lingkungan sekolah kita. Pada situasi dan pribadi tertentu, ‘gaya semacam’ itu, menjadi pilihan yang bijak. Sudah banyak testimoni perihal ‘efektivitas’ dari metode ‘pukul’ itu.

Tetapi, tanpa mengurangi ‘respek’ terhadap para guru tempo dulu itu, saya berpikir, tidak salah juga jika kita coba membuat semacam plus dan minus dari metode yang mengandalkan ‘rotan’ itu. Apakah metode itu masih relevan atau selaras dengan perkembangan zaman di mana unsur martabat manusia begitu diagungkan saat ini?

Benar bahwa keberhasilan yang kita ‘tuai’ saat ini, sebagiannya merupakan buah dari penggunaan rotan secara konsisten dari para guru itu. Tetapi, tidak dengan itu, kita menerima begitu saja ‘cara merotani’ itu, dan mewariskannya atau menerapkannya dalam ‘mendidik’ anak zaman now.

Perlu disadari bahwa manusia bukan makhluk infra-human (hewan dan tumbuhan). Mendidik manusia, dengan demikian tak sama dengan “menggembleng” hewan. Karena itu, sanksi fisik yang menjurus ke actus penganiayaan tak bisa dibenarkan. Memberi hukuman fisik kepada siswa dengan motif dan intensi mulia sekalipun, hemat saya tidak untuk menghilangkan dimensi “keburukan” (malum) dalam aksi tersebut.

Jadi, jika diteropong dari dampak perkembangan psikologis anak, merotani siswa sama sekali tak ‘menghadirkan emas kebaikan’ bagi anak. Justru, pada ujung rotan itu, neraka kebencian menyala terang. Ujung rotan berpotensi menghadirkan trauma psikologis yang sulit disembuhkan.

Pada sisi yang lain, pertanyaannya adalah apakah tindakan memukul siswa merupakan salah satu elemen substansial dalam kurikulum formasi personalitas manusia? Apakah aksi pemukulan itu merupakan sarana yang efektif dalam mengubah karakter siswa? Saya pikir, sebagai seorang manusia plus guru profesional kita tak mengalami defisit stok cara mendidik yang kreatif dan produktif.

Kita mengasuh dan mendidik manusia dengan “hati”, bukan emosi. Jika aspek emosionalitas sangat dominan maka, aspek edukatif akan ternoda sebab kita menabur kebencian dalam diri siswa. Padahal, pendidikan merupakan investasi manusiawi yang sarat dengan nilai-nilai positif.

Kita memang tak menampik bahwa guru juga manusia. Namun, status kemanusiaan itu tidak bisa dijadikan alibi dan justifikasi atas cara-cara kontraproduktif yang kita terapkan dalam proses pembelajaran. Justru sebaliknya, predikat manusia itu membuat kita berpikir elaboratif dan reflektif sehingga tidak terjebak dalam arus emosi yang dangkal dan sesaat.

Pedagogi kontemporer sangat optimis dengan kapasitas manusiawi yang dipunyai oleh para siswa. Bahwasannya dalam diri peserta didik terdapat potensi atau bakat untuk menjadi manusia. Tugas guru adalah mengarahkan bakat tersebut secara reguler dan teratur.

Kita tidak sedang menilai guru secara kolektif. Sudah jamak dipahami bahwa profesi guru itu sangat mulia. Namun, kemuliaan profesi itu tidak membuat profesi ini imun atau steril dari kritik publik. Karena itu, kasus ini menjadi pelajaran berharga agar para guru tidak tergoda untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyalurkan maksud dan motivasi yang mulia dalam benak para guru. Intensi dan motivasi yang suci, jika menggunakan cara yang kotor, tak banyak membantu untuk perwujudan niat tersebut.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terbaru

Info Terbaru

Karya Tulis

Opini

Statistik Kunjungan

Name
Age
Phone
🟢 Online Users
0
📊 Today's Visitors
5
📊 Today's Visits
6
📊 Yesterday's Visitors
6
📊 Yesterday's Visits
10
📊 Total Visitors
23688
📊 Total Visits
49222