Oleh: Sil Joni*
Dua hari jelang peringatan Haru Guru Nasional (HGN), 25 November 2024, sebuah buku ‘Antologi Puisi’ buah karya para guru yang tergabung dalam komunitas “Guru Mabar Menulislah’ (GMM) telah tiba di ruang pembaca. Ibu Yuliana Tati Hariyatin, selaku ‘play maker’ dalam proses perampungan buku ini, sudah mempromosikan buku itu melalui postingan di akun facebook pribadinya pada Sabtu, (23/11/2024).
Saya turut berbangga dengan pencapaian komunitas GMM sejauh ini. Refleksi perihal ‘peluh’ yang menetes di sekujur tubuh para guru saban hari, diabadikan dalam bentuk ‘narasi puitik’ seperti yang terekam dalam buku itu.
Namun, di balik peluh, saya kira, terucap juga pelbagai ‘keluh’ terkait ‘berkah’ yang mungkin tidak seberapa dari pekerjaan sebagai guru itu. Untuk itu, dalam tulisan ini, saya coba menyibak ‘keluh kesah’ para guru untuk disandingkan dengan ‘peluh’ yang mengucur itu.
Ketika ‘peluh’ kurang diapresiasi, maka sangat logis jika ‘suar keluh’ meluncur deras. Guru adalah sebuah profesi yang darinya seseorang ‘bisa eksis’ secara ekonomi. Kebutuhan perutnya tentu saja (walau tidak selalu), sangat bergantung dari jumlah pendapatan dari pekerjaan sebagai guru tersebut.
Pada saat seseorang ‘bekerja’ dengan penuh dedikasi, semestinya ia ‘berhak’ mendapat penghargaan yang sepadan. Namun, jika faktanya, penghormatan terhadap ‘jasa profesionalisme’ yang telah ditunjukkannya, masih jauh dari kata ideal, maka sangat wajar keluhan demi keluhan keluar dari mulutnya.
Masih segar dalam layar memori saya, aneka keluhan terkait ‘nasib guru’ melayang bebas dalam sebuah acara Dialog Publik yang difasilitasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) di Aula SMAK St. Ignatius Loyola Labuan Bajo, Kamis (25/11/2021). Beberapa guru kala itu, mengutarakan keluhan elementar di hadapan Wakil Bupati Mabar, Yulianus Weng.
Isi keluhan itu cukup beragam, mulai dari minimnya intervensi anggaran untuk pembangunan infrastruktur sekolah, tidak berjalannya program penguatan kompetensi guru, hingga soal kecilnya jumlah honor yang diperoleh oleh guru Komite.
“Dialog Publik” itu menjadi kesempatan istimewa bagi guru untuk menyalurkan pelbagai kekurangan dan ketidakpuasan mereka terhadap performa pemerintah dalam memperhatikan ‘nasib mereka’ sebagai guru. Bapak Wakil Bupati Mabar, di tengah ‘keterbatasan waktu’, dengan penuh simpatik, memberikan respons yang menurut saya ‘cukup masuk akal’.
Intinya, pihak pemerintah ‘tidak pernah tinggal diam’ dalam mencari solusi guna mengatasi pelbagai problem yang mendera dunia pendidikan kita. Hanya saja, kerja politik pemerintah dalam bidang pendidikan belum terlalu optimal, mengingat terbatasnya kapasitas fiskal daerah akibat diterjang badai pandemi Covid-19 saat itu.
Pak Yulianus Weng memberikan semacam ‘garansi’ kepada guru bahwa pelbagai keluhan atau persoalan yang menimpa guru akan ditanggapi oleh pemerintah. Oleh sebab itu, sebelum ‘pamit’ dari ruang Dialog Publik itu, dirinya meminta perwakilan PGRI untuk mencatat semua isu serius yang muncul dalam diskusi itu dan mempresentasikannya di hadapan dirinya atau bupati keesokannya, Jumat, (26/11/2021). Pemerintah daerah (Pemda) Mabar sangat ‘terbuka’ untuk menerima dan merespons setiap usulan atau keluhan yang disampaikan secara elegan dan bermartabat.
Mengapa para guru ‘mengeluh’? Apakah tugas, kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai guru sudah ‘diaktualisasikan’ dengan prima? Memang isu kesejahteraan guru menjadi salah satu ‘tema serius’ dalam dunia pendidikan. Ada korelasi yang tegas antara ‘pemenuhan aspek kesejahteraan’ dengan performa seorang guru. Profesionalisme menjadi sulit ‘ditunaikan’ ketika ‘kebutuhan ekonomi’ belum terpenuhi.
Keringat profesionalisme yang mengucur dari tubuh guru, tidak saja sebagai ekspresi pengabdian terhadap kemanusiaan semata, tetapi agar ‘asap dapur’ tetap mengepul. Apa artinya ‘butiran peluh’ yang mengalir dari raganya, jika ‘piring nasinya’ tidak terisi penuh. Bagaimana mungkin, api profesionalisme dan dedikasi menyala jika guru ‘ketiadaan bahan bakar’?
Karena itu, tindakan ‘mengeluh’ merupakan implikasi logis dari ‘peluh’ yang menetes setiap hari. Keluhan itu dimaksudkan agar ‘guru tetap semangat’ dalam berpeluh, memberikan layanan pendidikan yang terbaik untuk generasi muda di wilayah ini.
Harapannya agar setiap butiran peluh itu, tidak jatuh sia-sia, tetapi boleh berubah menjadi harapan terwujudnya hidup yang lebih sejahtera. Jika guru sejahtera, maka pasti semakin banyak ‘peluh pengorbanannya’, mendapat afirmasi dari pemerintah. Kesejahteraan guru, bagaimana pun juga, menjadi salah satu kunci derasnya peluh dedikasi dan totalitas guru dalam memanifestasikan idealismenya sebagai seorang guru.
Ada semacam pameo bernada getir yang diterima begitu saja, ‘jika ingin kaya, jangan jadi guru’. Hal ini sangat sesuai dengan kondisi yang dialami oleh para guru honorer baik yang mengabdi di sekolah negeri maupun di sekolah swasta. Jujur saja ‘situasi ekonomi’ para guru honorer (komite) tersebut, umumnya sangat memprihatinkan. Boleh dibilang mereka itu ‘hidup enggan, mati tak mau’. Bagaimana mana mungkin mereka bisa mengabdi secara total (all out), jika kondisi ekonominya morat-marit?
Lalu, siapa yang semestinya ‘punya kompetensi dan legitimasi’ untuk mengangkat martabat guru ke level yang lebih manusiawi? Kepada siapa lagi ‘suara lirih dan keluh kesah’ perihal kemelaratan para guru itu disampaikan. Adakah ‘dewi nasib’ yang punya hati untuk mendengar dan memberikan perhatian penuh terhadap perbaikan tingkat kesejahteraan guru (honorer)?
Kendati demikian, sebuah gangguan psikologis jika guru hanya ‘sibuk dengan urusan mengeluh’, tetapi tidak pernah berpeluh. Sebuah pembohongan publik jika guru hanya menuntut banyak dari pemerintah, tetapi tidak pernah ‘tergerak’ untuk meningkatkan kompetensi dan mengembangkan profesionalismenya secara kreatif dan produktif.
Akhirnya, Hari Guru Nasional (HGN) yang kita rayakan tahun ini, Senin, (25/11/2024) merupakan momentum ideal untuk menjadikan aktus berpeluh (dedikasi, pengorbanan sebagai pekerja profesional dan berkompeten) sebagai agenda prioritas, sebelum bergerak ke tindakan ‘mengeluh’. Jangan pura-pura mengeluh, sebelum peluh dedikasi tampak jelas dalam medan karya di dunia pendidikan.
Pada ujung yang lain, para pengambil kebijakan, kalau dapat ‘tidak tutup mata’ dalam menatap situasi kemelaratan’ yang dialami para guru honorer. Ketika level kesejahteraan guru (honorer) kian membaik, maka segala ‘sinisme dan sindiran pahit’ soal pekerjaan sebagai ‘guru honorer’ tidak melengking abadi dalam ruang publik-politis.
*Penulis adalah staf pengajar SMK Stella Maris.